Salah satu masalah terbesar yang muncul dari dinaikkannya harga BBM adalah kekhawatiran akan terhambatnya pertumbuhan ekonomi karena dampak kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi akibat komponen biaya yang naik. Tetapi menaikkan harga BBM juga tak bisa dihindari karena beban subsidi membuat negara sulit melakukan investasi bidang lain untuk mendorong tumbuhnya ekonomi.
"Kenaikan harga BBM sampai dengan Rp1.500 akan mengakibatkan inflasi bertumbuh 1,6%, tetapi juga akan mengakibatkan reduksi subsidi sebesar Rp57 triliun," kata Pri.
Inflasi lebih tinggi
Sejumlah pengamat ekonomi lain berpandangan mirip,
Enny Sri Hartati, Direktur INDEF, lembaga analisis ekonomi, berpendapat harga BBM yang dinaikkan tidak akan mengerek inflasi terlalu tinggi apalagi menyebabkan guncangan ekonomi.
Sejumlah komponen penyumbang utama kenaikan inflasi, di luar naiknya harga BBM, adalah harga makanan-minuman serta tarif transportasi. Keduanya mengklaim BBM sebagai salah satu elemen utama, bahkan terbesar, dalam komponen ongkos produksi dan distribusi. "Industri makan-minum membutuhkan BBM untuk produksi, distribusi dan bahan baku. Kenaikan BBM setinggi Rp1.500 akan menyebabkan kenaikan harga pangan sedikitnya 5-10%," kata Adhi S Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, GAPPMI.
Beberapa tahun terakhir dunia industri sudah tak lagi menikmati subsidi BBM, naiknya harga minyak dunia juga menjadi pendongkrak meroketnya ongkos produksi.
Momok kenaikan harga lain muncul dari sektor transportasi, yang selalu menaikkan tarif saat kenaikan harga BBM terjadi. Apapun pertimbangan menaikkan harga BBM, bagi kalangan miskin atau nyaris miskin, impliaksinya hanya satu: kenaikan harga kebutuhan pokok.
Sebaliknya menurut pemerintah, tak mungkin kas negara terus-menerus dipakai untuk menambal subsidi BBM karena sektor lain menjadi terbengkalai.
Menurut catatan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, tahun lalu besaran subsidi kesehatan hanya Rp43,8 triliun, infrastruktur Rp125,6 triliun, bantuan sosial Rp70,9 triliun, sementara subsidi BBM menyedot dana paling besar, Rp165,2 triliun.
Padahal itu belum termasuk subsidi listrik yang berjumlah Rp90 triliun, sehingga secara total subsidi energi APBN 2011 mencapai Rp255 triliun.
Realisasi subsidi BBM juga cenderung membengkak dari angka acuan karena konsumsi BBM yang tak terkendali. Tahun 2010 misalnya, subsidi BBM yang mestinya habis pada hitungan Rp69 triliun kemudian membesar menjadi Rp82,4 triliun. Hal sama terulang pada 2011 dimana anggaran subsidi Rp96 triliun kemudian bengkak menjadi hampir dua kali, yakni Rp165,2 triliun.
Akibatnya kesempatan berinvestasi dalam bentuk infrastruktur dan pembangunan nonfisik, termasuk kesehatan dan pendidikan, menjadi lebih sedikit. Pengurangan subsidi BBM, menurut pemerintah, akan dialihkan sebagian pada program infratsruktur, meski belum jelas apa saja bentuknya dan bagaimana realisasinya.
Enny Sri Hartati dari INDEF menilai situasi ini sangat tak adil bagi kelompok miskin.
KERUGIAN DAN KEUNTUNGAN KENAIKKAN BBM
Pengamat Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengungkapkan, jika manfaat yang diperoleh dari kebijakan tersebut lebih kecil dibandingkan biaya sosial ekonomi yang harus ditanggung oleh perekonomian dan rakyat. "Simulasi INDEF menghasilkan beberapa proyeksi ke depan. Pertama pertumbuhan ekonomi akan merosot menjadi 5,8%. Penurunan pertumbuhan ekonomi ini antara lain disebabkan oleh investasi yang jatuh karena kenaikan suku bungan kredit," papar Ahmad di Jakarta, Rabu (28/3/2012). Angka inflasi, lanjutnya, juga akan terpicu tiga sampai empat persen. Sehingga membuat daya beli masyarakat jatuh. Daya beli masyarakat akan berkurang sekitar 10-15 persen.
"Akibat penurunan daya beli akan membuat jumlah kemiskinan meningkat 1,1 - 1,3% atau sekitar 1,5 juta penduduk. Meskipun aneka skema kompensasi sudah dijalankan," jelasnya.
Dengan demikian, jika diakumulasikan secara keseluruhan pendapatan nasional atau PDB akan berkurang Rp 125 triliun dibandingkan apabila BBM tidak dinaikkan.
"Itu belum termasuk dampak efek lanjutan terhadap kenaikan pengangguran dan penurunan ekspor," pungkasnya
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/03/120327_fuelhikeeconomicalimpact.shtml
Dengan demikian, jika diakumulasikan secara keseluruhan pendapatan nasional atau PDB akan berkurang Rp 125 triliun dibandingkan apabila BBM tidak dinaikkan.
"Itu belum termasuk dampak efek lanjutan terhadap kenaikan pengangguran dan penurunan ekspor," pungkasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar