PENDAHULUAN
Jaminan kehalalan suatu produk pangan dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertifikat halal yang menyertai suatu produk pangan, yang dengan sertifikat tersebut si produsen dapat
mencantumkan logo halal pada kemasannya. Masalahnya, bagaimana menjamin bahwa sertifikat halal tersebut telah memenuhi kaidah syariah yang ditetapkan dalam penetapan kehalalan suatu produk pangan, dalam hal ini akan berkaitan dengan kompetensi lembaga yang mengeluarkan sertifikat, standar halal yang digunakan, personil yang terlibat dalam sertifikasi dan auditing, dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme sertifikasi halal itu sendiri.
mencantumkan logo halal pada kemasannya. Masalahnya, bagaimana menjamin bahwa sertifikat halal tersebut telah memenuhi kaidah syariah yang ditetapkan dalam penetapan kehalalan suatu produk pangan, dalam hal ini akan berkaitan dengan kompetensi lembaga yang mengeluarkan sertifikat, standar halal yang digunakan, personil yang terlibat dalam sertifikasi dan auditing, dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme sertifikasi halal itu sendiri.
Kasus pertama terjadi pada tahun 1988 yaitu adanya issue lemak babi pada banyak produk
pangan, Belajar dari kasus yang terjadi pada tahun 1988 tersebut maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha berperan untuk menenteramkan umat Islam dalam masalah kehalalan produk pangan dengan cara mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) yang bertugas untuk melakukan pengkajian kehalalan produk pangan,
obat dan kosmetika. Melalui berbagai pertemuan dan pembahasan maka tercapailah titik temu dimana masalah sertifikasi halal akan ditangani oleh tiga lembaga yaitu MUI, Depkes dan Depag dimana ketiga lembaga tersebut menandatangani SKB (surat keputusan bersama) 3
lembaga tersebut yang dilakukan pada tahun 1996. Dengan bantuan kementerian negara urusan pangan maka lahirlah Undang-Undang Pangan pada tahun 1996 dimana masalah halal juga
diperhatikan walaupun sangat disayangkan masih bersifat ambiguous (akan didiskusikan lebih lanjut). Melalui perjuangan yang panjang yang dimotori oleh YLKI lahir pula Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku tahun 2000 dimana masalah label halal
tercakup dalam UU ini. Sebelumnya, lahir pula Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan pada tahun 1999 dimana label halal juga diatur dalam peraturan tersebut. Seperti tercantum dalam PP No. 69 tentang Label dan Iklan Pangan, Komite Akreditasi Nasional (KAN), Badan Standarisasi Nasional (BSN) merupakan lembaga yang melakukan akreditasi terhadap lembaga pemeriksa yang akan memeriksa kebenaran pernyataan halal yang akan dicantumkan pada label suatu produk pangan.
pangan, Belajar dari kasus yang terjadi pada tahun 1988 tersebut maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha berperan untuk menenteramkan umat Islam dalam masalah kehalalan produk pangan dengan cara mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) yang bertugas untuk melakukan pengkajian kehalalan produk pangan,
obat dan kosmetika. Melalui berbagai pertemuan dan pembahasan maka tercapailah titik temu dimana masalah sertifikasi halal akan ditangani oleh tiga lembaga yaitu MUI, Depkes dan Depag dimana ketiga lembaga tersebut menandatangani SKB (surat keputusan bersama) 3
lembaga tersebut yang dilakukan pada tahun 1996. Dengan bantuan kementerian negara urusan pangan maka lahirlah Undang-Undang Pangan pada tahun 1996 dimana masalah halal juga
diperhatikan walaupun sangat disayangkan masih bersifat ambiguous (akan didiskusikan lebih lanjut). Melalui perjuangan yang panjang yang dimotori oleh YLKI lahir pula Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku tahun 2000 dimana masalah label halal
tercakup dalam UU ini. Sebelumnya, lahir pula Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan pada tahun 1999 dimana label halal juga diatur dalam peraturan tersebut. Seperti tercantum dalam PP No. 69 tentang Label dan Iklan Pangan, Komite Akreditasi Nasional (KAN), Badan Standarisasi Nasional (BSN) merupakan lembaga yang melakukan akreditasi terhadap lembaga pemeriksa yang akan memeriksa kebenaran pernyataan halal yang akan dicantumkan pada label suatu produk pangan.
PEMBAHASAN
DASAR HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN SERTIFIKASI HALAL
1. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan
Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah
kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab Label dan Iklan Pangan pasal
30, 34 dan 35. Bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sbb:
kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab Label dan Iklan Pangan pasal
30, 34 dan 35. Bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sbb:
Pasal 30
1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan pangan.
2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai:
a) Nama produk
a) Nama produk
b) Daftar bahan yang digunakan
c) Berat berish atau isi berish
d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi
e) Keterangan tentang halal; dan
f) Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
Pasal 34
1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
Penjelasan:
dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
Adaa dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69 ini yaitu pasal 3, ayat(2), pasal 10 dan 11. Pasal 3, ayat (2) Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya:
a. Nama produk
b. Daftar bahan yang digunakan
c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
wilayah Indonesia
wilayah Indonesia
d. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa
Pasal 10
1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label. Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label.
Penjelasan pasal 10:
Penjelasan pasal 10:
pencantuman keterangan halal atau tulisan "halal" pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin. Keterangan
tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya.
tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya.
Pasal 11
1) Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Mentri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Penjelasan pasal 11:
(1) pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakannya sebagai produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya. Untuk menghindarkan timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebenaran pernyataan halal tadi, dan dengan demikian untuk kepentingan kelangsungan atau kemajuan usahanya, sudah pada tempatnya bila pangan yang dinyatakannya sebagai halal tersebutdiperiksakan terlebih dahulu pada lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan ketenteraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama.Lembaga keagamaan yang dimaksudkan adalah Majelis Ulama Indonesia.Pedoman ini bersifat umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:924/Menkes/SK/VIII/ 1996 Tentang Perubahan Atas keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan "Halal" pada Label Makanan.
Kepmenkes ini memuat perubahan penting Kepmenkes sebelumnya,kelihatannya perubahan ini sebagai konsekwensi adanya SKB tiga lembaga yaitu Depag, Depkes dan MUI. Pasal-pasal yang berubah dan sekaligus relevan dengan masalah sertifikasi halal adalah sbb:
1. Pasal 8
produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencatuman tulisan "Halal" wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.
2. Pasal 10
2. Pasal 10
(1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh Tim Ahli Majelis Ulama Indonesia.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh Fatwa.
(3) Fatwa MUI sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.
3. Pasal 11
Persetujuan pencantuman tulisan "Halal" diberikan berdasarkan Fatwa dari Komisi Fatwa MUI.
4. Pasal 12
(1) Berdasarkan Fatwa dari MUI, Direktur Jenderal memberikan:
a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat "Halal"
b. Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat "Halal"
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan.
PERMASALAHAN YANG BERKAITAN DENGAN SERTIFIKASI HALAL
Yang perlu diingat disini adalah standar halal tidak sama dengan standar mutu. Mutu ditetapkan oleh produsen atas dasar permintaan atau kebutuhan konsumen dan mutu adalah suatu konsensus.Halal ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa melalui Al-Qur'an dan hadis yang diinterpretasikan oleh orang yang memiliki otoritas untuk itu (ulama).Seringkali diperlukan suatu ijtihad bersama (dilakukan oleh sekelompok ulama) yang dikenal dengan Ijma. Dengan demikian,penetapan halal tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Salah satu motivasi mengapa MUI terjun menangani sertifikasi halal melalui LPPOM MUI adalah agar sertifikasi halal tidak dijadikan lahan bisnis, khususnya di tahap-tahap awal pengembangan sistem sertifikasi halal.
MEKANISME SERTIFIKASI HALAL
1. Kewenangan menetapkan kehalalan suatu produk tetap dipegang oleh Komisi Fatwa MUI yang dapat diperluas dengan memperluas jaringannya sampai ke daerah-daerah dan melibatkan lebih banyak ulama dari berbagai golongan disamping orang-orang teknis yang memahami permasalahan teknologi pangan dan bahan ingredien pangan. Akan tetapi, pemeriksaan produk atau pencarian fakta di industri atau restoran akan dilakukan oleh lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi oleh KAN, dengan demikian lembaga pemeriksa dapat lebih dari satu. Lembaga pemeriksa menyerahkan hasil pemeriksaannya untuk dikaji oleh Komisi Fatwa yang diperluas, kemudian sertifikat halal akan dikeluarkan oleh MUI apabila Komisi Fatwa telah menyetujui hasil pemeriksaan (tidak ada masalah).
2. Penetapan kehalalan suatu produk dilakukan oleh suatu lembaga sertifikasi halal dimana lembaga sertifikasi halal ini memiliki komisi fatwa sendiri yang memenuhi persyaratan dan keanggotaan yang ditetapkan oleh MUI atau Komisi khusus yang dibentuk MUI. Dengan demikian akan ada lebih dari satu lembaga sertifikasi halal dan tentu saja masing-masing lembaga ini telah memenuhi standar yang diberlakukan bagi lembaga sertifikasi halal dan telah diakreditasi oleh KAN. KAN untuk masalah halal dapat merupakan salah satu KAN yang ada di BSN yang anggotanya terdiri dari para ulama dan pakar yang berkaitan dengan teknologi dan ingredien pangan serta manajemen. Bisa juga KAN untuk urusan halal merupakan KAN khusus yang dibentuk untuk masalah halal dimana pembentukannya melibatkan pihak-pihak yang terkait.
PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa aspek tulisan halal yang ertera pada suatu produk harus sesuai dengan standar dan mekanismnya, dimana lembaga MUI yang bertanggung jawab atas kehalalan suatu produk dan ditijau dari segi kelayakannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://groups.yahoo.com/group/halal_baik_enak/message/761
Tidak ada komentar:
Posting Komentar