Selasa, 27 Maret 2012

KAIDAH & NORMA HUKUM DI INDONESIA


KAIDAH & NORMA HUKUM DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Telah diketahui bahwa disamping norma/kaedah kepercayaan atau keagamaan, norma kesusilaan dan norma sopan santun masih diperlukan norma hukum. norma hukum ini melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaedah lainnya dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaedah tadi.
Norma hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit yaitu dipelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakatagar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan, agar terjadi kejahatan.
Kaidah hukum berasal dari luar manusia. Kaidah hukum berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada kita (heteronom), masyarakatlah secara resmi diberi kuasa untuk memberi sanksi / menjatuhkan hukuman

PEMBAHASAN

A.    Perihal Norma Hukum
             Norma atau kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tataaturan yang berisi kebolehan, anjuran dan perintah.
            Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya norma diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seorang untuk bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat, jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.
                 Apabila ditinjaau dari segi etimologinya, kata norma itu sendiri berasal dari bahasa latin, sedangkan kaedah berasal dari bahasa arab. Norma berasal dari kata nomos yang berti nilai kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Sedangkan kaidah dalam bahsa arab qo’idah berarti ukuran atau nilai pengukur. Jika pengertian norma atau kaedah sebagai pelembagaan itu dirinci, kaedah atau norma yang dimaksud dapat berisi:
·         kenbolehan atau yang dalam bahasa arab disebut ibahah, mubah.
·         Anjuran positif untuk melakukan sesuatu atau dalam bahasa arab disebut sunnah.
·         Anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahsa arab disebut makruh.
·         Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere)
·         Perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu.

                        Dalam teori yang dikenal dalam dunia barat, norma-norma tersebut biasanya hanya digambarkan atas tiga macam saja yaitu, obligattere, prohibere, permittere. Akan tetapi di Indonesia dengan meminjam teori hukum fiqih, menurut Profesor Hazairin[1], norma terdiri atas lima macam, yaitu:
a.       Halal atau mubah (permittere)
b.      Sunah
c.       Makruh
d.      Wajib (obligattere)
e.       Haram (prohibere)

                        Dalam sistem ajaran islam, kelima kaedah tersebut sama-sama disebut sebagai norma agama. Akan tetapi jika diklasifikasikan, ketiga sistem norma agama (dalam arti sempit) sistem norma hukum dan sistem norma etika (kesusilaan) dapat saja dibedakan satu sama lain. Norma etika dapat dikatakan hanya menyangkut kaidah mubah  (permittere), sunnah dan makruh saja, sedangkan norma hukum berkaitan dengan kaedah mubah (permittere, mogen) kewajiban atau suruhan (obligattere, gebot) dan larangan (prohibere, verbod).
                        Kaidah kesusilaan yang dipahami sebagai etika dalam arti sempit hanya dapat dimengerti  sebagai kaedah yang timbul dalam kegidupan peribadi (internal life)[2]. Karena itu, kaedah semacam itu disebut juga dengan kesusilaan peribadi.
            Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama, dan lainnya, terjadi secaratidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat.
                        Kaidah atau norma hukum mempunyai sumber legitimasi dan sumber kekuatan mengikat pada adanya norma hukum yang lebih tinggi, yang dijabarkan dalam kaidah hukum yang lebih rendah, yang dilakukan oleh badan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan yang berhak memaksakan akibat atau sanksi terhadap suatu pelanggaran norma hukum, diluar kehendak orang itu. Dengan demikian terdapat alat-alat kekuasaan untuk memaksakan ketaatan terhadap norma hukum. Dari sudut asal-usul, sesuai dengan pendirian aliran positivisme, maka kaidah hukum tersebut merupakan kehendak pemegang kekuasaan, yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan. Tindakan kemauan atau kehendak yang dirumuskan menjadi norma, agar menjadi sah keberadaannya mensyaratkan adanya satu badan yang mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk itu, sebagaimana sering dikatakan bahwa “tiada imperatif tanpa seorang (suatu) imperator, tiada komando tanpa seorang komandan[3]. Akan tetapi kaidah atau norma hukum adat dan kebiasaan, sebagaimana menjadi kenyataan pengalaman kita sendiri merupakan norma yang sangat berbeda dilihat dari segi asal-usul kelahirannya. Ia lahir dan berkembang dalam pergaulan hidup kemasyarakatan sendiri, yang berwujud dalam keputusan-keputusan primus inter-pares dalam penyelesaian sengketa yang dihadapkan kepadanya. Hukum itu tidak dibuat secara artifisial melainkan di temukan dalam relung jiwa rakyatnya[4].

B.     Statika dan Dinamika Sistem Norma
            Hans Kelsen mengemukakan adanya dua sitem norma, yaitu sistem noram yang statik (nomostatics) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamics).
            Sistem norma yang statik adalah sistem yang melihat ‘isi’ norma. Menurut sistem norma yang statik, suatu norma hukum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus. Sistem norma yang dinamik adalah sitem norma yang dilihat dari berlakunya suatu norma.

C.    Perbedaan Norma Hukum dan Norma Lainnya
Diantara perbedaanya adalah sebagai berikut:
·         Suatu norma hukum itu bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri seseorang. Sedangkan norma hukum lainnya bersifat otonom, dalam arti norma itu datangnya dari dalam diri seseorang.
·         Norma hukum dapat didekati dengan sanksi pidana maupun sanksi secara fisik, sedangkan norma lainnya tidak dapat didekati oleh sanksi pidana maupun pemaksa secara fisik.